Minggu, 09 Januari 2011

Mudahnya Mengarang

MUDAHNYA MENGARANG

Mengarang adalah hal yang mudah dan siapa saja dapat melakukannya. Banyak orang dewasa yang mampu berkarya dalan hal tulis-menulis. Lebih menarik lagi ternyata banyak di antaranya ditulis sama orang seumuran SMA. Ada Laire Siwi yang masih kelas kelas satu SMU waktu menerbitkan novelnya, Maria Ardelia yang kini kelas tiga SMU St Theresia, dan Dyan yang baru saja lulus dari SMUN 6, Jakarta.
Yang dahsyat, buku mereka semua mengalami cetak ulang. Mulai dari 4.000 sampai 15.000 kopi. Dari tiap buku rata-rata mereka mendapat royalti 10 sampai 12 persen. Kalau rata-rata dijual seharga Rp 25.000 sampai Rp 30.000, itu berarti per buku bisa dapat Rp 2.500 sampai Rp 3.000. Kalikan dengan 10.000 eksemplar saja, uang yang mengalir ke kocek bisa antara Rp 25.000.000 sampai Rp 30.000.000. Belum lagi ada beberapa penerbit yang mau memberi uang kontrak sebesar 25 persen dari royalti buku yang dicetak awal. Biasanya cetakan awal itu sekitar 4.000 sampai 10.000 kopi. Kalau bukunya laris tanpa kerja lagi kita tetap dapat duit. Jadi, sambil sekolah dan bikin karangan, kita bisa jadi jutawan. Fantastis, kan!
Kebanyakan penulis remaja mengaku enggak menyangka hasil karyanya bisa berhasil. Biasanya mereka mengawali profesinya dari hobi nulis. Dyan yang menulis novel Dealova-nya saat masih SMP bahkan mulanya cuma iseng. Menurut cewek yang bercita-cita jadi psikolog ini, awalnya bikin cerita bukan untuk dipublikasikan. Memang sejak SD sudah senang menulis lalu teman-teman yang mendorong Dyan untuk enggak malu menawarkan ke penerbit. Pengarang muda yang sudah punya simpanan tiga novel ini bilang perjalanan nulis-nya dimulai dari diary. "Cuma kalau di diary, kan, itu cerita kita yang sebenarnya. Kalau aku di diary kebanyakan sial melulu. Jadinya pas dibikin cerita aku nulis saja yang bagus-bagus. Banyak-banyak berkhayal maunya gimana. He-he-he…," tawanya renyah.
Awal iseng-iseng ini juga diiyakan sama Laire dan Maria Ardelia (Mardel). Semuanya sudah senang nulis sejak SD dan sama-sama dimulai dengan nulis diary, lalu dikembangkan jadi cerpen, terakhir baru dipanjangkan menjadi novel. "Paling enggak dari pengamatan sekitar, curhat teman," ujar Laire, yang bisa ditelepon berjam-jam sama teman- temannya untuk dicurhati.

Cuma sering juga mereka mengalami kemacetan. Rasanya di otak sudah ada, tapi enggak tahu nuangin-nya gimana. "Kalau sudah enggak mood, aku biasanya berhenti dulu. Ditinggal tidur atau dengar musik," tutur Mardel, yang orang rumahnya enggak ada yang tahu soal penerbitan bukunya sampai kontrak ditandatangani.
Monty Tiwa, pengarang novel Dunia Mereka, mengatakan, tiap penulis punya trik masing-masing menghadapi writer’s block alias kemandekan menulis. Ada yang menggunakan keindahan alam sebagai pemancing, atau melepas penat ke mal, dengar musik, nonton, untuk mengembalikan gairah menulis.
Tapi, gimana sih caranya supaya kita bisa mengarang tulisan yang oke? Laire, Marde, dan Dyan sepakat bilang pokoknya mulai nulis saja. Idenya bisa dari mana saja. Film, buku, cerita teman, cerita sendiri, tapi yang paling gampang yang dekat sama dunia kita. Soalnya bikin karakter tokohnya lebih mudah. Monty yang juga penulis skenario film Biarkan Bintang Menari mengibaratkan menulis apa yang ada di hati itu bagai anak kecil yang bermain bebas dan mengacaukan lantai atau kertas dengan mainannya. "Lalu barulah gunakan otak untuk edit bagian yang perlu dan tidak, layaknya orangtua merapikan mainan setelah anaknya puas bermain. Mulai saja nulis di mana saja, kapan saja. Biarkan tulisan bermain dengan sendirinya, seperti pertama kali belajar main sepeda. Seiring waktu sepeda itu akan makin lancar lajunya tanpa ada yang bisa menghentikan." Weeits, patut dicatat, nih!
Icha Rahmanti yang mengarang Cintapuccino memberi tips begini, "Kalau soal topik gue pikir topik apa saja bisa jadi menarik. Tinggal gimana kita ngemas-nya saja, cari angle baru agar sesuatu yang biasa jadi lebih fresh." Menurut cewek lulusan teknik arsitektur ITB ini, penulis sebaiknya menetapkan tujuan dulu. Misalnya, kita mau tulisan fiksi atau nonfiksi? Kalau sudah punya tujuan, kita jadi tahu, apakah tulisan sudah sesuai sama tujuan. "Tapi, menurut gue, nulis juga sebuah proses. Misalnya, hasil akhir enggak sesuai tujuan belum tentu tulisan itu jelek. Karena proses jadi practice make perfect," jelas Icha panjang lebar.
Jadi, menulis itu mudah. Semua orang punya cerita, semua orang biasa bikin diary. Kita pun juga. Yang penting nulis, nulis, nulis, dan nulis lalu tawarkan ke penerbit. Yuk, mulai!
Diambil dari:
Nama situs: Kompas Cyber Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar